Madinah pagi ini masih sama seperti Madinah di hari-hari kemarin. Udara pagi yang dingin di penghujung musim bulan April itu. Jamaah umroh dari Indonesia baru saja selesai sholat subuh, baru kembali dari Masjid Nabawi menuju hotel masing-masing untuk menikmati sarapan pagi yang telah disediakan. Di tengah-tengah jalan menuju ke Masjid para penjual menjajakan dagangan dengan semangatnya, suasana berbeda hadir seketika, dari suasana Masjid Nabawi yang syahdu dihadapkan dengan suasana para pedagang yang rata-rata berkebangsaan Arab itu.
Aku dan Kiki Kakakku berjalan dengan hati-hati, melewati para pedagang tersebut. Berdesak-desakan di jalan yang tak seberapa lebar itu, mungkin hampir mirip dengan suasana sekitar Museum Fatahillah Kota Tua di Jakarta. Berupa jalan yang berisi bangunan-bangunan tanpa ada pengendara motor di sana, hanya ada bangunan, toko-toko dan tentu saja pedagang.
“Kakak suka deh Pu dengan suasana di sini, andai Kakak dan keluarga bisa selamanya tinggal disini”, kata Kak Kiki sambil terus berjalan di sampingku.
“Masa iya sih Kak? Biar bagaimanapun aku selalu ingin kembali ke Indonesia”, kataku.
“Enak disini Pu, suasana ibadah begitu kental. Bisa setiap hari ke Masjid Nabawi, dekat dengan Masjidil Haram di Mekah. Bisa sering-sering umroh dan haji”, kata kakakku.
Aku hanya tersenyum. Ya memang benar sekali apa yang diucapkan Kakakku itu. Berada di Madinah sungguh nyaman, begitu pula di Mekah. Suasana ibadah yang dihadirkan begitu terasa sekali, terutama di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram. Tapi bukankah kita ditakdirkan sebagai orang Indonesia. Allah sudah mentakdirkan kita berada di Indonesia, lahir di Indonesia.
“Ah tapi Kak senyaman-nyamannya kita berada di Madinah dan Mekah tetap saja kita bukan Warga Negara disini, kita bukan bangsa Arab. Setahuku Kak yang paling membahagiakan manusia sebenarnya adalah bisa hidup dan bertempat tinggal di tanah airnya sendiri. Sehebat-hebatnya Warga Negara Indonesia di negeri orang tetap saja disebut sebagai pendatang. Kita bukan mereka, budaya kita beda. Keluarga kita berada di Indonesia begitupun makam leluhur kita ada di Indonesia. Coba kita perhatikan TKW di negeri ini bagaimana keadaannya?? Mereka adalah pekerja disini dan diperlakukan ya sebagai pekerja”, kataku.
Kami sampai di hotel, langsung menuju restoran di lantai 2. Setelah mengambil makanan kami pun mencari meja dan tempat duduk sebagai prasarana kami untuk makan. Menu pagi itu lumayan enak, makanan khas Indonesia. Ya selalu begitu, katering yang digunakan adalah katering punya orang Indonesia sehingga lidah para jamaah nyaman dengan makanan yang disajikan.
“Iya juga Pu, benar sekali, seperti si Jufa asisten Kakak di rumah. Dia itu mantan TKW di Jeddah dan sekarang sudah pulang kembali ke Indonesia. Suasana kerja di Arab beda dengan suasana kerja di Indonesia, begitu katanya. Jufa pun akhirnya memilih untuk kembali ke Indonesia”, kata Kak Kiki sambil mengunyah makanannya.
“Hihi…jadi cinta Madinah dan Mekah atau cinta Indonesia nih Kak?”, kataku menggoda.
“Cinta Madinah dan Mekah sebagai tempat dimana perjuangan Rasullullah berawal tapi untuk kehidupan dan penghidupan Kakak tetap memilih Indonesia. Nanti Rahman dan Papa bagaimana dong?”, kata Kak Kiki sambil mengerling.
“Haha,,iya Kak…pokoknya sepakat deh. Kalau untuk beribadah Pu juga cinta Madinah dan Mekah seperti cintanya Pu kepada Allah dan Rasullullah. Tapi untuk soal hidup dan penghidupan kita harus tetap berjuang di Indonesia. Kita berupaya membangun Indonesia, semampu yang kita bisa”, kataku.
Lalu kami pun mengalihkan pembicaraan ke topik lainnya.
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Cermin Blogger Bakti Pertiwi yang diselenggarakan oleh Trio Nia, Lidya, Abdul Cholik.
Sponsored By :